Sebagai generasi termuda dalam angkatan kerja saat ini, generasi milenial (yang lahir antara tahun 1980an hingga akhir 1990an) mau tidak mau harus menghadapi banyak kritik, bahkan cemoohan dari generasi yang lebih tua. Ini juga terjadi pada Gen X yang mendapat stereotipe tertentu pula, dan biasanya buruk, dari bos-bos mereka yang berasal dari generasi baby boomers.
Generasi milenial sering dicap sebagai generasi yang egois, merasa berhak, dan banyak tuntutan. Belum lagi ketergantungan terhadap teknologi. Tapi, apakah memang benar seperti itu? Tentu saja tidak dan karakter-karakter atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang disebutkan sebetulnya bukan milik generasi tertentu.
Nah, daripada memrotes tuduhan-tuduhan yang tidak empiris, namun telanjur menjadi penilaian umum ini, lebih baik kita kenali kebiasaan-kebiasaan buruk di tempat kerja yang konon dilakukan generasi milenial.
Apa sajakah itu, apa penyebabnya, dan bagaimana menghindarinya untuk membuat kesan yang lebih baik di lingkungan kerja? Mari kita kupas satu per satu.
1. Cenderung menuntut, alih-alih meminta dengan rendah hati
Banyak karyawan yang takut menyuarakan pendapat mereka tentang sesuatu yang salah atau kurang memadai di kantor. Mereka lebih suka menundukkan kepala, menyimpan dalam hati, atau malah membicarakannya di belakang atasan, ketimbang berbicara langsung secara lisan.
Generasi milenial dikenal tidak seperti itu, tapi lebih vokal, lebih berani menyuarakan pendapat. Pada tingkatan tertentu ini bagus. Namun gaya bahasa dalam menyampaikan pendapat seringkali terdengar menuntut.
Untuk para generasi milenial, sebaiknya ubahlah tuntutan menjadi permohonan, permintaan, dengan gaya bahasa yang lebih menunjukkan rasa hormat dan merendah. Ini penting, apalagi kalau individu dari generasi milenial ini adalah orang baru di kantor.
Nantinya, ketika sudah semakin banyak pengalaman yang diperoleh, semakin tinggi jam terbang, mungkin akan semakin banyak tuntutan yang harus diajukan ke kantor, tapi, di awal, mulailah dulu dengan memohon atau meminta.
2. Terlalu percaya diri
Merasa yakin itu bagus, tapi terlalu percaya diri bisa-bisa merusak reputasi, jika itu dianggap sebagai bentuk kesombongan. Generasi milenial konon cenderung melebih-lebihkan kemampuan dan pengetahuan mereka di tempat kerja. Ini biasanya membuat jengkel rekan-rekan sekantor mereka yang berasal dari generasi yang lebih tua, yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun lebih lama bekerja di situ.
Hal ini yang mesti disadari generasi milenial, tapi jangan takut untuk menunjukkan kepercayaan diri. Lakukan saja, selama mampu mengendalikan rasa percaya diri ini agar tidak dicap sombong.
Lebih baik tampil baik di tempat kerja dengan rendah hati daripada membual tentang kemampuan dan justru gagal memenuhi harapan. Biarkan waktu dan prestasi berbicara untuk diri kita.
3. Hanya mengandalkan bentuk komunikasi tertentu
Generasi milenial karena terkesan punya ketergantungan terhadap teknologi. Generasi ini lahir dan tumbuh pada saat teknologi komunikasi berkembang sangat cepat, sehingga lebih menyukai bentuk komunikasi berbasis teks daripada suara.
Bagi generasi milenial, mengirim dan menerima SMS, teks via aplikasi pesan instan, atau e-mail lebih nyaman daripada telepon. Format teks juga memberikan waktu bagi penggunanya untuk memahami pesan dan merespons lebih baik.
Namun, penting untuk diingat, tidak semua orang suka berkomunikasi dengan cara ini. Ada pula keuntungan atau kelebihan komunikasi lewat panggilan telepon , ketimbang surat elektronik. Sebaiknya, tunjukkan fleksibilitas dalam cara berkomunikasi. Teks oke, telepon pun tak masalah.
4. Cenderung lebih suka berbicara daripada mendengarkan
Ini sebetulnya kebiasaan buruk yang bisa ditemukan pada generasi mana pun. Hanya saja, bagi generasi milenial, cap ini lebih memberatkan. Generasi milenial sudah dianggap sebagai generasi yang mementingkan diri sendiri dan terlalu percaya diri, sehingga bicara terlalu banyak dinilai sebagai kebiasaan yang semakin memperburuk stereotipe-stereotipe yang sudah ada. Padahal kadang-kadang kesukaan berbicara ini bisa jadi cuma ekses dari kepribadian ekstrovert individu, bukan satu generasi.
Upayakanlah untuk berbicara lebih sedikit dan mendengarkan lebih banyak, terutama ketika sedang bersama seseorang yang lebih berpengalaman atau lebih berwibawa daripada kita. Anda akan membuat kesan yang lebih baik, namun yang lebih penting akan lebih banyak yang bisa dipelajari dalam proses mendengarkan ini.
5. Menganggap perilaku atau tindakan tertentu tidak masalah
Kecanggihan teknologi dan semakin berkurangnya gaya bekerja cara lama membuat lingkungan kantor kini menjadi lebih santai, jadwal kerja menjadi lebih fleksibel, etiket menjadi lebih longgar, dan aturan berpakaian semakin kasual. Namun bukan berarti kita bisa muncul di kantor kapan pun kita mau atau mengenakan pakaian apa pun yang kita inginkan.
Melakukan hal ini bisa membuat kita dicap terlalu percaya diri dan kurang sopan. Kalau ragu soal kepantasan pakaian yang hendak dikenakan, misalnya, jangan ragu untuk memastikannya pada rekan sekerja yang lebih senior.
6. Multitasking
Sekali lagi, tumbuh bersama teknologi komunikasi yang berkembang pesat memberikan keuntungan, sekaligus jebakan bagi generasi milenial. Milenials menjadi terbiasa mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat, yang akhirnya mendorong mereka untuk bekerja cepat dan berpikir cepat pula, yang membuat mereka akhirnya menjadi sangat produktif dan cerdik.
Namun kecepatan tinggi ini jugalah yang menjebak menjadi multitasking. Milenials tergoda untuk mencoba menyelesaikan banyak hal secara bersamaan dalam upaya bekerja secepat mungkin.
Namun kini orang semakin sadar, multitasking tidak efektif dan melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan sekaligus justru dapat melemahkan kinerja kita di berbagai bidang. Oleh karena itu, belajarlah untuk mengerem. Fokuslah pada kualitas akhir, bukan pada kuantitas upaya yang dilakukan.
7. Tetap terhubung
Melekat pada gawai hampir 24 jam sehari kadang-kadang membuat generasi milenial justru dianggap tidak professional. Misalnya, terlalu sering mengecek ponsel pada saat rapat atau berbicara dalam urusan kerja. Mata yang selalu tertuju pada layar, bukannya pada lawan bicara bisa dianggap tidak sopan. Padahal kebiasaan ini pun ada pada generasi yang lebih tua yang juga sudah tergantung pada perangkat teknologi komunikasi.
Belajarlah untuk menjauh dari gawai sesekali. Berupayalah untuk lebih fokus terhadap lingkungan kerja dan orang-orang di sekitar kita.
Kesimpulannya, ada beberapa perbedaan yang membuat generasi milenial berbeda dari generasi lain, namun bukan berarti generasi ini adalah pekerja yang buruk atau pekerja yang baik. Bagi generasi yang lebih tua dan menjadi atasan mereka, mengakui perbedaan-perbedaan ini dan mengompensasi generasi milenial ketika mereka membuat disonansi di tempat kerja, dapat membantu untuk lebih menyesuaikan diri dengan pekerjaan. (*)
Pingback: Tujuh Keahlian yang harus Dimiliki Manajer Milenial - Training Provider Jakarta Indonesia - PT. Presenta Edukreasi Nusantara